Minggu, 21 Juni 2009

Akhir pekan yang menyenangkan
Bertemu sahabat-sahabat alam
Berdiskusi tentang lingkungan
Berbicara tentang kehidupan
Merencanakan sebuah karya besar

Anak-anak pun bermain dengan riangnya
Memanjat menara bambu
Mendayung perahu karet
Berlarian di sepanjang galengan empang
Mengamati burung-burung khas pesisir
Membaca buku-buku yang menjadi cikal bakal perpustakaan alam

Saat kaku ini melangkah pulang
Berjalan di atas tumpukan pasir dan lumput
Menyibak ilalang yang tumbuh liar
Beriring mentati yang mulai tenggelam
Memancarkan cahaya senjanya di angkasa

..dan mimpi pun menjadi kenyataan..

-Anonymous-

Read More...

Minggu, 15 Maret 2009

- now is all we have -

Bagi gw, kehidupan ini bagaikan sebuah perlombaan, pada awal perlombaan, kita diberikan uang sebesar $ 86,400. Uang tersebut harus kita habiskan dalam sehari penuh, terserah digunakan untuk apa. Pada akhir acara, uang yang tersisa akan ditarik kembali jika kita gagal untuk menggunakannya sepanjang hari. Nah apa yang akan kita lakukan? Sudah barang tentu, dari setiap sen uang tersebut akan kita pergunakan sebaik-baiknya.

Secara tidak sadar, kita mengikuti perlombahan seperti itu setiap hari. Perlombahan itu dinamakan kehidupan. Setiap pagi, kita diberikan deposit/simpanan awal berupa WAKTU sebanyak 86.400 detik. Pada malam hari, apapun hasilnya, segala pengeluaran kita terhadap deposit/simpanan awal itu akan dicatat. Jika kita tidak mempergunakan seluruh deposit itu pada saat itu juga, maka kita akan kehilangan kesempatan mempergunakkannya untuk selama-lamanya. Kita tidak dapat menabungnya untuk dipergunakan esok hari, karena setiap malam, segala sisa waktu yang tidak kita pergunakan akan lenyap selama-lamanya. Karena itu, hargailah setiap waktu yang kita miliki. Hiduplah untuk masa sekarang sebab hanya itulah yang kita punya. Nikmati dan bagilah waktu kita untuk seorang yang kita sayangi, cukup khusus sehingga diri kita rela untuk ‘membuang’ waktu kita bersamanya. Ingatlah bahwa waktu tidak akan menunggu seseorang pun. Kemarin adalah sejarah, hari esok adalah misteri, dan hari ini adalah hadiah, karena itulah ia disebut “present”.


-----------------------------------------------------------------

Hanya dalam hitungan detik semua berubah. Karena itu, hargailah setiap detik demi detik kehidupan kita. Setiap tarikan napas kita. Karena, kita tidak pernah tahu, apakah detik berikutnya kita masih diizinkan bernapas.

Waktu terus berlalu. Emosi dan perasaan datang dan pergi silih berganti. Seperti bulan dan matahari. Siang dan malam. Semua yang ada di dunia ini berjalan secara alami. Mengikuti naluri. Maka, matahari yang tak pernah memaksa untuk menerangi malam, atau bulan yang selalu ingin menjadi purnama setiap hari. Semuanya harus selaras. Seperti alam yang menyesuaikan diri dengan penuh kesabaran, namun meyakinkan.

Niscaya, hidup akan terasa jauh lebih ringan dan mudah jika kita berserah diri. Berpasrah. Bersabar. Tapi, juga yakin bahwa semua akan berlalu, bahwa kemarin bukanlah milik kita lagi dan hari esok belum tentu jadi milik kita.

“…now is all we have fot the past is over and tomorrow is not ours to tell.”

Zara Zettira ZR

Read More...

Sabtu, 14 Maret 2009

Milikku, Bukan Milikku

Suatu hari, seorang ibu dan anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Karena teriknya sinar matahari yang begitu menyengat, mereka berhenti sebentar untuk melepas dahaga di sebuah warung kecil di tepi jalan. Keduanya membeli minuman dingin yang tersedia di warung dan sedikit jajanan khas pinggir jalan. Tanpa sengaja si anak menjatuhkan jajanan tersebut dari tangannya sehingga semuanya tumpah ke tanah. Si anak kemudian berjongkok hendak mengumpulkan makanan tersebut ke dalam pembungkusnya untuk dibuang, tetapi sang ibu menarik tangannya. “Udah De, biarin aja,” kata sang ibu. Si anak terlihat bingung, “Tapi, Ma, kan jadi kotor. Kata Mama kalau Ade numpahin sesuatu harus diberesin biar ngga kotor?”
Tanya si anak. “Itu kalau di rumah, De. Kalau di jalan mah nggak usah repot-repot, bukan punya kita ini jalannya,” jawab sang ibu dengan santai.

Begitulah kira-kira pendidikan mengenai lingkungan hidup yang didapatkan oleh sebagian besar anak di negeri kita. Pendidikan tersebut memegang prinsip, “Jaga dan peliharalah dengan sepenuh hati apa yang menjadi milikmu, yang lainnya bukan urusanmu”. Prinsip ini bias dibilang egois, selalu lebih memikirkan dirinya sendiri. Prinsip ini sebenarnya sudah melekat dalam diri manusia tanpa perlu diajarkan-bayangkan bagaimana prinsip ini akan semakin melekat kuat dan tak tergantikan apabila diajarkan secara turun menurun. Pada dasarnya prinsip ini memiliki sifat positif jika dilihat dari sisi kecintaan dan pemeliharaan atas segala sesuatu yang kita miliki, yang mencerminkan rasa syukur kita. Yang membuatnya menjadi salah adalah ketidakpedulian kita terhadap hal-hal di luar diri kita atau di luar milik pribadi kita. Selain itu, sempitnya pemikiran kita dalam menentukan apa yang milik kita dan apa yang bukan milik kita membuat prinsip ini semakin salah. Kita mengartikan “milik kita” dengan terlalu sempit dan dangkal, yakni hanya sebatas “kepunyaan pribadi, punya saya sendiri”. Kita belum mampu menerima bahwa “milik saya” juga dapat berarti “kepunyaan saya bersama dengan orang lain di sekitar saya/milik bersama”. Kita sulit membangun konsep bahwa “milik bersama” juga adalah “milik saya”. Kita sering menyalahartikan “milik bersama” sebagai “bukan milik siapa-siapa”. Ketidakmampuan ini membuat kita sulit menerima kenyataan bahwa ada beberapa hal yang tidak kita miliki secara pribadi melainkan bersama-sama dengan orang lain, tetapi tetap milik kita dan kita berkewajiban sebagaimana kita menjaga dan memelihara apa yang kita miliki secara pribadi. Salah satu dari beberapa hal tersebut adalah lingkungan hidup.

Prinsip serta konsep “milik” yang salah tersebut menyebabkan ketidakpedulian terhadap lingkungan hidup yang dapat berakibat fatal. Yang lebih fatal lagi, prinsip dan konsep yang salah tersebutlah yang terus melekat dan bahkan diajarkan kepada anak-anak negeri kira, tunas muda yang akan menjadi penerus kehidupan bangsa ini-dan bahkan lebih dari itu, mereka juga adalah penerus kehidupan di bumi ini. Apa yang diajarkan kepada mereka hari ini, akan menentukan kehidupan mereka dan seluruh umat manusia di bumi ini esok hari.

Kita semua tahu bahwa di zaman modern ini, ada banyak sekali masalah yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Masalah-masalah tersebut bukan hanya masalah yang menyangkut lingkungan alam, melainkan juga lingkungan sosial (ingat, lingkungan hidup tidak hanya mencakup alam tempat makhluk hidup tinggal tetapi juga mencakup kehidupan yang ada di dalamnya, salah satunya kehidupan dan perilaku manusia/kehidupan sosial). Penyebabnya yang paling mendasar adalah kurangnya kepedulian terhadap lingkungan hidup akibat prinsip dan konsep “milik” yang salah tadi. Kita merasa bahwa lingkungan hidup itu bukan milik kita sehingga kita tidak perlu menjaga dan memeliharanya. Kita tahu betul bahwa kita adalah bagian dari lingkungan hidup, tetapi kita belum mampu menanamkan dalam diri kita bahwa lingkungan hidup juga adalah bagian penting dari hidup kita, sehingga tidak ada rasa tanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Kita sering kali menganggap bahwa lingkungan hidup sudah memang seharusnya ada untuk kita dan mendukung perikehidupan kita (take it for granted) tapa menyadari bahwa di balik segala sesuatu yang lingkungan hidup berikan kepada kita terdapat tanggung jawab yang besar.

Ada banyak dari kita yang tidak menyadari fenomena alam maupun sosial yang sedang terjadi di sekeliling kita. Kita sering kali tidak memiliki sense of crisis atau kepekaan terhadap keadaan genting, yang mungkin terlihat sepele tetapi sebenarnya sedang mengancam kehidupan kita. Kita sering kali tak acuh pada isu-isu tersebut karena kita belum benar-benar merasa terancam oleh mereka kita sering kali terlalu dimanja oleh fasilitas dan segala kemudahan yang dapat kita nikmati. Saat orang-orang khawatir akan isu semakin panasnya suhu bumi, kita masih belum merasa terancam karena kita memiliki AC yang dapat menyejukkan kita dari rasa panas. Ketika orang-orang merasa terancam akibat kemungkinan bahwa daerah tempat kita tinggal akan tenggelam akibat pemasan global, kita masih merasa tenang karena kita mampu pindah ke tempat lain yang belum tenggelam.

Di kala orang-orang menjerit karena harga BBM yang terus melambung hingga mencekik leher, kita merasa aman-aman saja karena kita punya cukup banyak uang dan masih mampu membayar harga tersebut. Di saat orang-orang di sekitar kita kesulitan membeli sembako, kita malah masih dengan gembiranya berfoya-foya di pusat-pusat pembelanjaan dan hiburan. “Asal yang punya gue aman, gue udah senang, mau bumi hancur kek, loe pada susah kek, bodo amat,” begitu kira-kira pola pikir kita. Jika pola pikir ini tidak diubah, jangan berharap anak cucu kita akan punya kesempatan untuk menikmati udara yang segar setiap hari atau damai dan tenteramnya bumi, padahal setiap anak memiliki hak untuk itu.

Oleh karena itu, perlu ada pembaruan pola pikir dan perbaikan konsep “milik” dalam diri kita masing-masing, terutama dalam konsep berpikir anak. Tenggelamnya dalam pemikiran yang salah akan membawa mereka pada kehancuran di masa depan. Mereka berhak dan harus mengetahui hak mereka untuk menikmati dan memanfaatkan lingkungan hidup sekaligus hak mereka untuk memelihara dan melestarikannya. Sejak dini mereka sudah harus diajarkan konsep “milik” yang benar tentang lingkungan hidup sehingga mereka betul-betul merasa memiliki dan menjadi bagian dari lingkungan hidup, maka dengan sendirinya mereka akan cinta pada lingkungan hidup. Jika sudah cinta, apa pun akan dilakukan demi kebaikannya. Jika sudah cinta, tak perlu lagi dipaksa untuk merawat atau melestarikan, malah akan dengan sendirinya timbul hasrat untuk memelihara tanpa merasa terbebani atau terpaksa.

Hubungan anak dengan lingkungan hidup harus dijalin layaknya dua sejoli yang sedang merajut kasih. Pertama, mereka harus berkenalan terlebih dulu. Setelah berkenalan, mereka masuk ke tahap penjajakan, yakni tahap untuk saling mengenal lebih dalam, dan untuk memulainya harus ada pihak yang lebih aktif untuk mengambil langkah pertama, dalam hal ini si anaklah yang harus aktif (dengan didukung oleh orang-orang di sekitarnya). Setelah mengenal dengan lebih baik, rasa sayang akan mulai tumbuh, yang diikuti dengan rasa memiliki, dan berujung pada rasa cinta yang mendalam, yang berarti mereka sudah siap untuk sebuah hubungan. Dalam hubungan ini terjadi proses memberi dan menerima. Lingkungan hidup memberikan banyak manfaat bagi si anak, si anak memberikan pemeliharaan yang baik dan penuh kasih sebagai ungkapan rasa terima kasih. Dalam relasi ini juga diperlukan pengertian. Si anak tidak akan memaksakan kehendaknya terhadap lingkungan hidup. Ia akan berusaha menahan egonya dan mengendalikan dirinya serta belajar rela berkorban demi menyakiti lingkungan hidup. Tentunya lingkungan hidup juga akan menerima niat itu dengan “tidak marah-marah kepadanya”. Seperti layaknya pasangan kekasih, tak ada lagi milikmu dan milikku, melainkan milik kita. Jika kita analogikan dengan matematika, 1 + 1 = 1, bukan lagi 1 + 1 = 2. Oleh karena itu, marilah kita mengevaluasi diri karena seperi layaknya suatu kesatuan, hilang satu hilanglah semuanya. Akankah menjadi penyesalan (nantinya) bila kita kehilangan bumi tempat berpijak ini karena sikap egois yang senantiasa hanya menghargai sesuatu yang dianggap milik pribadi dan tidak peduli dengan apa yang menjadi milik bersama?

Di kutip dari tulisan Alfinda Agyputri.


Read More...

Rabu, 11 Maret 2009

Bersyukur tanpa mengekspresikannya, seperti membungkus hadiah tapi tidak memberikannya.

Read More...

Sesuatu yang lebih berharga selalu lebih tersembunyi.
Hal yang tampak pertama dari luar adalah sampul, bukan isi.

Read More...